Selasa, 14 September 2010

Pengaruh Sertifikasi Guru Terhadap Mutu Pendididkan

BAB I
PENDAHULUAN
Ada yang berpendapat bahwa sertifikasi adalah alat untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Bahkan yang lebih berani mengatakan bahwa sertifikasi adalah akal-akalan pemerintah untuk menaikkan gaji guru. Kata sertifikasi hanyalah kata pembungkus agar tidak menimbulkan kecemburuan profesi lain. Pemahaman seperti itu tidak terlalu salah sebab dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.
Sertifikasi guru merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas seorang guru, sehingga ke depan semua guru harus memiliki sertifikat sebagai lisensi atau ijin mengajar. Dengan demikian, upaya pembentukan guru yang profesional di Indonesia segera menjadi kenyataan dan diharapkan tidak semua orang dapat menjadi guru dan tidak semua orang menjadikan profesi guru sebagai batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan seperti yang terjadi belakangan ini.
Namun, persepsi seperti itu cenderung mencari-cari kesalahan suatu program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahterann guru dalam kaitannya dengan sertifikasi harus dipahami dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan nasional , baik dari segi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Di samping itu, menurut Samami dkk. (2006), yang perlu disadari adalah bahwa guru adalah subsistem pendidikan nasional. Dengan adanya sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar siswa.
Pada dasarnya terdapat barbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan,dan kurikulum. Dari beberapa faktor tersebut, guru dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah nemempati kedudukan yang sangat penting dan tanpa mengabaikan faktor penunjang yang lain, guru sebagai subjek pendidikan sangat menentuksn keberhasilan pendidikan itu sendiri. Studi yang dilakukan Heyneman dan Loxley pada tahun 1983 di 29 negara bahwa di antara berbagai masukan yang menentukan mutu pendidikan (yang ditunjukksn oleh prestasi belajar siswa) sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru makin penting lagi di tengah keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Fasli Jalal (2007) mengatakan bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermatabat. Oleh karena itu keberadaan guru bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang bermutu.
Program sertifikasi tersebut juga dapat diterapkan untuk guru-guru biologi agar dapat memiliki standar kompetensi yang telah diterangkan di atas. Guru biologi diharapkan mampu memahami dan menguasai materi ajar yang ada dalam kurikulum, memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang koheren dengan materi ajar, memahami hubungan konsep antar mata pelajaran yang terkait dan menginternalisasikan nilai-nilai biologi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu melalui sertifikasi guru biologi diharapkan mampu menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan dan materi bidang studi biologi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN IMPLEMENTASI SERTIFIKASI
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari uji kompetensi. Uji kompetensi dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profeisonal guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan.
Ternyata implementasi sertifikasi guru dalam bentuk penilaian portofolio ini kemudian menimbulkan polemik baru. Banyak para pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Apa yang menjadi keprihatinan banyak pihak ini dapat dimaklumi. Hal ini dikarenakan pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak lebih dari penilaian terhadap tumpukan kertas. Kelayakan profesi guru dinilai berdasarkan tumpukan kertas yang mampu dikumpulkan. Padahal untuk membuat tumpukan kertas itu pada zaman sekarang amatlah mudah. Tidak mengherankan jika kemudian ada beberapa kepala sekolah yang menyetting berkas portofolio guru di sekolahnya tidak mencapai batas angka kelulusan. Mereka berharap guru-guru tersebut dapat mengikuti diklat sertifikasi. Dengan mengikuti diklat sertifikasi, maka akan banyak ilmu baru yang akan didapatkan secara cuma-cuma. Dan pada gilirannya, ilmu yang mereka dapatkan di diklat sertifikasi akan diterapkan di sekolah atau di kelas.
Hipotesis bahwa pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional terasa akan menjadi kenyataan bila dibandingkan dengan pelaksanaan sertifikasi di beberapa negara maju, khusunya dalam bidang pendidikan. Hasil studi Educational Testing Srvice (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa pola-pola pembinaan profsesionalisme guru di negara-negara tersebut dilakukan dengan sangat ketat.
Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut terdiri dari tiga praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performan di kelas yang diterapkan pada tahun pertama mengajar.

B. UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang Guru dan Dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.
Sudah barang tentu, setelah cukup lama melakukan sosialisasi UUGD ini, patut mulai dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara otomatis meningkatkan kualitas kompetensi guru, dan kemudian akan meningkatkan mutu pendidikan? Adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab secara kritis analitis. Karena bukti-bukti hasil sertifikasi dalam kaitan dengan peningkatan mutu guru bervariasi. Di Amerika Serikat kebijakan sertifikasi bagi guru belum berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru, hal antara lain dikarenakan kuatnya resistensi dari kalangan guru sehingga pelaksanaan sertifikasi berjalan amat lambat.
Sebagai contoh dalam kurun waktu sepuluh tahun, mulai tahun 1997 – 2006, Amerika Serikat hanya mentargetkan 100.000 guru untuk disertifikasi. Bandingkan dengan Indonesia yang dalam kurun waktu yangb sama mentargetkan mensertifikasi 2,7 juta guru. Sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru di Singapore dan Korea Selatan.

C. KOMPETENSI GURU
Kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup:
1. Penguasaan materi, yang meliputi pemahaman karakteristik dan substansi ilmu sumber bahan pembelajaran, pemahaman disiplin ilmu yang bersangkutan dalam konteks yang lebih luas, penggunaan metodelogi ilmu yang bersangkutan untuk mempverivikasi dan memantpkan pemahaman konsep yang dipelajari, serta pemahaman manajemen pembelajaran.
2. Pemahaman terhadap peserta didik meliputi berbagai karakteristik, tahap-tahap perkembangan dalam berbagai aspek dan penerapanya (kognitif, afektif, dan psikomotor) dalam mengoptimalkan perkembangann dan pembelajaran.
3. Pembelajaran yang mendidik, yang terdiri atas pemahaman konsep dasar proses pendidikan dan pembelajaran bidang studi yang bersangkutan, serta penerpanya dalam pelaksanaan dan pengembangan pembelajaran.
4. Pengembangan kepribadian profesionalisme, yang mencakup pengembangan intuisi keagamaan yang berkepribadian, sikap dan kemampuan mengaktualisasikan diri, serta sikap dan kemampuan mengembangkan profesionalisme kependidikan.
Selain standar kompetensi profesi di atas, guru juga perlu memiliki standar mental, moral, sosial, spiritual, intelektual, fisik, dan psikis. Hal ini dipandang perlu karena dalam melaksanakan tugasnya guru diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan (guide of journey) yang bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya


D. SERTIFIKASI PROFESI GURU
Undang-Undang Guru dan Dosen merupakan suatu ketetapan politik bahwa pendidik adalah pekerja profesional, yang berhak mendapatkan hak-hak sekaligus kewajiban profesional. Dengan itu diharapkan, pendidik dapat mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesi tersebut.
Dalam UUGD ditentukan bahwa seorang :
1. Pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran.
2. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugasnya sebagai guru untuk guru dan S-2 untuk dosen.
3. Kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Pertama, kompetensi pedagogik. Adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kedua, kompetensi kepribadian. Adalah kepribadian pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Ketiga, kompetensi sosial. Adalah kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat.
Keempat, kompetensi profesional. Adalah kemampuan pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan.
Untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik sudah memenuhi standard profesional maka pendidik yang bersangkutan harus mengikuti uji sertifikasi guru untuk pendidikan dasar dan menengah, serta uji sertifikasi dosen untuk pendidikan tinggi.

Penilaian Portofolio Guru
Sertifikasi pendidik atau guru dalam jabatan akan dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang mendeskripsikan :
a. Kualifikasi akademik
b. Pendidikan dan pelatihan
c. Pengalaman mengajar
d. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
e. Penilaian dari atasan dan pengawas
f. Prestasi akademik
g. Karya pengembangan profesi
h. Keikutsertaan dalam forum ilmiah
i. Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial
j. Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Guru yang memenuhi penilaian portofolio dinyatakan lulus dan mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru yang tidak lulus penilaian portofolio dapat :
 Melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi portofolio agar mencapai nilai lulus, atau
 Mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan evaluasi/penilaian sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi.

Guru yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru mendapat sertifikat pendidik. Apa yang harus dilakukan? Menyimak dari pengalaman pelaksanaan sertifikasi di berbagai negara, maka akan muncul pertanyaan. "Bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru?" Dan apabila gagal, "mengapa sertifikasi gagal meningkatkan kualitas guru?"
Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan guru yang berkualitas. Kegagalan dalam mencapai tujuan ini, terutama dikarenakan menjadikan sertifikasi sebagai tujuan itu sendiri.
Bagi bangsa dan pemerintah Indonesia harus senantiasa mewaspadai kecenderungan ini, bahwa jangan sampai sertifikasi menjadi tujuan. Oleh karenanya, semenjak awal harus ditekankan khususnya di kalangan pendidik, guru, dan dosen, bahwa tujuan utama adalah kualitas, sedangkan kualifikasi dan sertifikasi merupakan sarana untuk mencapai kualitas tersebut.

E. PENGARUH SERTIFIKASI TERHADAP KINERJA GURU
Hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti (diakses 7 Desember 2008). Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan jika Indonesia dibanding dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada pada peringkat ke-7 dari sembilan negara ASEAN. Salah satu unsur utama dalam penentuan komposit Indeks Pengembangan Manusia ialah tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu pendidikan Indonesia yang rendah.
Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia. Education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut Wordl Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%. Guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%. Guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan rendahnya kualitas guru ini adalah dengan mengadakan sertifikasi. Dengan adanya sertifikasi, pemerintah berharap kinerja guru akan meningkat dan pada gilirannya mutu pendidikan nasional akan meningkat pula.
Keterpurukan mutu pendidikan Indonesia di dunia internasional memang amat memprihatinkan. Akan tetapi, keprihatinan ini jangan sampai membuat kita putus harapan. Keterpurukan ini hendaknya membuat kita sungguh-sungguh terdorong mencari jalan yang tepat, bukan dengan cara-cara instan dan mengutamakan kepentingan pribadi. Salah satu jalan yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi mutu pendidikan yang rendah ini adalah dengan meningkatkan kualitas gurunya melalui sertifkasi guru. Pemerintah berharap, dengan disertifkasinya guru, kinerjanya akan meningkat sehingga prestasi siswa meningkat pula. Namun dalam pelaksanaannya, sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio memberi banyak peluang pada guru untuk menempuh jalan pintas. Hal ini disebabkan profesionalisme guru diukur dari tumpukan kertas. Indikator inilah yang kemudian memunculkan hipotesis bahwa pelaksanaan sertifikasi dalam wujud penilaian portofolio tidak akan berdampak sama sekali terhadap kinerja guru, apalagi terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Di samping itu, berkaca pada pelaksanaan sertifikasi negara-negara maju, terutama dalam bidang pendidikan, peningkatkan mutu pendidikan hanya dapat dicapai dengan pola-pola dan proses yang tepat. Pola-pola instan hanya akan menghambur-hamburkan dana dan waktu menjadi terbuang percuma. Sedangkan apa yang menjadi substansi sama sekali tidak tersentuh.

F. JAMINAN MUTU
Adakah jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru? Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru.
Pertama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1.
Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kemampuan guru.
Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.
Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu kebijakan yang merentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan muncul dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi.
Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis. Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri.
Mereka yang sudah senior atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut.
Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas.
Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi.
Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah yang terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standard tidak mengenal toleransi.
Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi.

G. PEMBINAAN PASCA SERTIFIKASI
Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru.
Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.
Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat.
P4TK yang berbasis mata pelajaran membentuk Tim Pengembang Materi Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas :
1. menelaah dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG dan MGMP
2. mengembangkan model-model pembelajaran
3. mengembangkan modul untuk pelatihan instruktur dan guru inti
4. memberikan pembekalan kepada instruktur pada LPMP
5. mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam kegiatan KKG dan MGMP.
LPMP bersama dengan Dinas Pendidikan Propinsi melakukan seleksi guru utk menjadi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Propinsi per mata pelajaran dengan tugas :
1. menjadi narasumber dan fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
2. mengembangkan inovasi pembelajaran untuk KKG dan MGMP
3. menjamin keterlaksanaan kegiatan KKG dan MGMP
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota melakukan seleksi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Kab/Kota dan membentuk Guru Inti per mata pelajaran dengan tugas :
1. motivator bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP
2. menjadi fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
3. mengembangkan inovasi pembelajaran
4. menjadi narasumber pada kegiatan KKG dan MGMP

KKG dan MGMP sebagai wadah pengembangan profesi guru melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi profesi guru. Selain itu perlu adanya pemberdayaan guru yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya pemberian tugas yang sesuai dengan kompetensi guru maupun adanya dorongan dari pihak manajemen sekolah yang mampu menumbuhkan motivasi kerja bagi para guru. Meningkatnya kompetensi guru yang didukung dengan adanya motivasi kerja yang tinggi akan dapat meningkatkan kinerja guru. Meningkatnya kinerja guru akan meningkatkan kualitas pembelajaran, yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan, karena ujung tombak dari kegiatan pendidikan adalah pada kegiatan pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru.

H. PENGARUH NEGATIF SERTIFIKASI GURU BERBASIS PORTOFOLIO TERHADAP KOMPETENSI GURU
Fakta dilapangan sangat jelas bahwa untuk memperoleh sertifikasi guru, hanya dengan menyerahkan portofolio. Padahal jika dilihat dari aspek evaluasi, uji portofolio tidak menggambarkan kompetensi atau kemampuan para guru sesuai dengan Undang-undang No. 14 tahun 2005 pasal 8 yang menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Pelaksanaan program sertifikasi tujuan dasarnya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena dengan meningkatnya kualitas pendidikan, maka akan dapat pula mendongkrak kualitas pendidikan bangsa Indonesia saat ini. Meski proses sertifikasi guru sudah memasuki periode keempat, bukan berarti kendala dan permasalahan yang menyertai sertifikasi guru sirna. Bahkan, problematika yang berasal dari para peserta sertifikasi sendiri bermunculan, karena para guru saling berlomba melengkapi berbagai persyaratan sertifikasi dengan cara yang tidak benar. Terlebih, syarat sertifikasi hanya menyusun portofolio yang di dalamnya berisi berbagai dokumen mengenai kompetensi guru dalam berbagai bidang.
Adapun dampak negatif dari sertifikasi guru berbasis portofolio terhadap kinerja dan kompetensi guru adalah:
1. Menjadi Sosok yang Certificate-Oriented
Ternyata implementasi sertifikasi guru dalam bentuk penilaian portofolio ini kemudian menimbulkan polemik baru. Banyak para pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Hal ini berkaitan dengan temuan-temuan dilapangan bahwa adanya indikasi kecurangan dalam melengkapi berkas portofolio oleh para guru peserta sertifikasi. “Kecurangan dengan memalsukan dokumen portofolio itu memang ada. Indikasinya kuat sekali. Temuan ini nanti akan diklasifikasi ke guru hingga kepala sekolah yang bersangkutan,” Rochmat Wahab, Ketua Panitia Pelaksana Uji Sertifikasi dari Universitas Negeri Yogyakarta (Kompas 18/9).
Semua guru ribut ikut seminar dan lokakarya agar mendapat sertifikat, legalisasi ijazah dengan cara scan, lengkap dengan tanda tangan kepala sekolah dan cap sekolah, termasuk ijazah S-1 yang entah berasal dari perguruan tinggi mana. Salah satu penyebab terjadinya penyimpangan tersebut adalah lemahnya pengarsipan data sehingga pada saat dokumen tertentu dibutuhkan, para guru kerepotan karena tidak terbiasa mengarsip. Hal seperti ini bisa saja lulus dalam proses sertifikasi. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwasannya asesor sebagai orang yang menilai portofolio melakukan kesalahan dan tidak cermat dalam melakukan penilaian. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah guru sebagai cermin siswa itu jujur, apakah layak untuk mendapat sertifikat pendidik sebagai pendidik profesional? Apa tidak malu jika bersertifikat profesional, tetapi ijazah yang dimiliki ditempuh dengan cara seperti itu?. Sebagian guru menjadi seorang yang certificate-oriented bukannya programa-oriented yang seharusnya sibuk memikirkan teknik pengajaran apa yang akan digunakan di dalam kelas agar hasil pembelajaranya maksimal.
2. Miskin Keterampilan dan Kreatifitas
Guru bukanlah bagian dari sistem kurikulum, tetapi keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan bergantung pada kemampuan, kemauan, dan sikap professional tenaga guru (Soedijarto, 1993). Kalau dikaitkan persyaratan professional seorang guru yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan yaitu, mampu merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, dan menilai proses belajar secara relevan dan efektif maka seorang guru yang professional akan dengan mudah lolos sertifikasi berbasis portofolio tanpa harus memanipulasi berkasnya. Karena sebelumnya guru tersebut telah giat mengembangkan dirinya demi anak didiknya. Namun yang menjadi persoalan adalah mereka, para guru yang melakukan kecurangan dalam sertifikasi.
Temuan kecurangan dalam sertifikasi tersebut jelas membuktikan bahwa guru yang lolos sertifikasi dengan cara memanipulasi berkas portofolio, akan tetap mengajar dengan seadanya. Guru yang terampil dan kreatif akan mampu menguasai dan membawa situasi pembelajaran dengan bekal keterampilan dan ide-ide kreatifnya. Sehingga peserta didik pun lebih menarik mengikuti pelajaran, tidak jenuh dan berpikiran bahwa guru tersebut adalah orang yang handal dan mempunyai banyak pengalaman. Berbeda halnya dengan guru yang tidak kreatif. Mereka miskin keterampilan dan kreatifitas sehingga apa yang disampaikan serasa kaku tanpa pengembangan konsep pembahasan. Penyajian pelajaran hanya sebatas penyampaian secara tekstual. Dan menurut hemat penulis hal ini lah yang dialami oleh para guru yang memanipulasi berkas portofolio mereka dalam sertifikasi.
3. Degradasi Semangat Mengembangkan Diri
Jika dalam Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa guru harus mengembangkan kepribadiannya ke arah profesionalisme. Maka sertifikasi berbasis portofolio dipandang dapat menghambat proses pengembangan tersebut. Karena seperti yang penulis paparkan di atas, bahwa sertifikasi selain untuk meningkatkan kualitas guru dan pendidikan di Indonesia juga untuk meningkatkan kesejahteraan guru itu sendiri. Dengan memberikan tunjangan satu kali gaji pokok. Kalau proses sertifikasi hanya dinilai dengan berkas portofolio maka guru pun akan dengan instant melengkapinya. Pengembangan diri yang meliputi standar profesi dan standar mental, moral, sosial, spiritual, intelektual, fisik, dan psikis membutuhkan proses yang panjang, tidak bisa secara instant. Apalagi hanya dibuktikan dengan sertifikat kegiatan-kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan kependidikan jelas tidak bisa dijadikan standar pengembangan diri seorang guru. Pada akhirnya para guru pun enggan untuk berusaha mengembangkan dirinya sebagaimana yang dituntut dalam Undang-Undang Guru dan Dosen serta Standar Pendidikan Nasional.
4. Merosotnya Kompetensi Profesi
Hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti Peringkat Indonesia
yang rendah dalam kualitas sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu
pendidikan Indonesia yang rendah. Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar.
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan rendahnya kualitas guru ini adalah dengan mengadakan sertifikasi berbasis portofolio. Dengan adanya sertifikasi, pemerintah berharap kinerja guru akan meningkat dan pada gilirannya mutu pendidikan nasional akan meningkat pula. Namun sertifikasi yang berbasis portofolio tersebut menjadi keprihatinan banyak pihak. Hal ini dikarenakan pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak lebih dari penilaian terhadap tumpukan kertas. Kelayakan profesi guru dinilai berdasarkan tumpukan kertas yang mampu dikumpulkan. Padahal untuk membuat tumpukan kertas itu pada zaman sekarang amatlah mudah. Tidak mengherankan jika kemudian ada beberapa kepala sekolah yang menyetting berkas portofolio guru di sekolahnya tidak mencapai batas angka kelulusan. Mereka berharap guru-guru tersebut dapat mengikuti diklat sertifikasi. Dengan mengikuti diklat sertifikasi, maka akan banyak ilmu baru yang akan didapatkan secara cuma-cuma. Dan pada gilirannya, ilmu yang mereka dapatkan di diklat sertifikasi akan diterapkan di sekolah atau di kelas. Fenomena ini menerangkan bahwa sertifikasi berbasis portofolio menyebabkan merosotnya kompetensi profesi guru.
5. Cara Mengantisipasi Pengaruh Negatif Sertifikasi Guru Berbasis Portofolio terhadap Kinerja dan Kompetensi Guru
Berdasarkan gejala-gejala yang ditimbulkan dari sertifikasi berbasis portofolio di atas, cara untuk mengantisipasi pengaruh negatif yang lahir akibat gejala-gejala tersebut. Diharapkan cara yang dimaksud dapat mendatangkan hasil positif bagi permasalahan yang diangkat. Sehingga yang menjadi masalah dapat dikendalikan. Cara yang dapat dilakukan sebagai langkah awal untuk membendung pengaruh negatif sertifikasi guru berbasis portofolio adalah sebagai berikut:
a. Mensosialisasikan dan Meningkatkan Pengawasan Sertifikasi
Terkait dengan indikasi adanya kecurangan dokumen portofolio yang diserahkan guru yang terpilih dalam kuota, maka perlu kiranya, Dinas Pendidikan di daerah selaku lembaga fasilitator kaum “Umar Bakri” ini agar dapat terus mensosialisasikan program sertifikasi, supaya guru tidak panik dalam menghadapi proses penilaian portofolio. Hal Ini harus disosialisasikan oleh dinas pendidikan setempat bahwa guru tetap punya kesempatan untuk lulus melalui pendidikan dan pelatihan. Bagi yang sudah dapat sertifikat pendidik pun perlu diingatkan supaya bertanggung jawab terhadap kualifikasi yang sudah diraih. Selain itu sosialisasi terkait sertifikasi ini dapat membantu para guru yang belum mengerti apa yang harus dilakukan agar lolos sertifikasi dengan jalan yang benar.
Para pengawas sertifikasi dalam hal ini tim asesor juga perlu meningkatkan kejelian dan ketelitian dalam mensertifikasi para peserta, agar tidak meloloskan peserta yang memanipulasi berkas portofolionya. Serta meningkatkan kewaspadaan terhadap indikasi kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi.
b. Meningkatkan Suguhan Up Grading untuk Para Guru
Suguhan Up Grading yang penulis maksud berupa peningkatan-peningkatan kualitas guru diberbagai kompetensi. Up Grading ini dapat berupa Kegiatan-kegiatan training, penataran, workshop, dan apapun istilah lainnya. Cara ini dapat mengubah rahasia umum para guru, bahwa yang dapat menikmati suguhan Up Grading tersebut hanyalah segelintir dari mereka. Diutamakan yang dapat bekerjasama dengan pimpinan atau dianggap berprestasi “di mata” atasan. Sehingga, yang dapat mengikuti sertifikasi dengan baik dan benar juga akan menjadi sedikit saja. Sementara kuota yang demikian besar membuat, lagi-lagi, menyediakan celah penyimpangan. Terjadilah pemalsuan sertifikat, berkas-berkas terkait, data-data dan sebagainya. Proses Up Grading harus sesuai dengan tujuan. Yaitu meningkatkan empat kompetensi guru sebagaimana amanat Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 Pasal 10 tentang kompetensi guru dan pasal 32 tentang pembinaan dan pengembangan. Pengembangan jangan terfokus pada pengembangan kompetensi profesional yang lebih bersifat managerial kelas dan administratif. Kompetensi lain yang meliputi paedagogis, kepribadian dan sosial nyaris juga harus ditingkatkan. Selain itu pengembangan kompetensi tersebut dilakukan tidak hanya dalam bentuk himbauan atau ceramah saja.

BAB III
PENUTUP

Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang professional, sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, di mana pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan suatu bangsa.
Undang-Undang Guru dan Dosen telah hadir sebagai suatu kebijakan untuk mewujudkan guru profesional. UUGD yang menetapkan kualifikasi dan sertifikasi akan menentukan kualitas dan kompetensi guru. Namun demikian, pelaksanaan sertifikasi akan menghadapi berbagai kendala. Di samping persoalan biaya, berbagai tantangan dan tuntutan juga akan muncul. Bagaimana cara pemerintah menghadapi tantangan dan tuntutan ini, akan menentukan apakah sertifikasi akan berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru.
Berdasarkan Standar Nasional Kependidikan, guru harus memiliki empat kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional. Namun, kompetensi-kompetensi yang dimiliki guru saat ini masih terbatas, sehingga diperlukan suatu upaya untuk mengoptimalkan kompetensi-kompetensi tersebut. Kompetensi kepribadian adalah karakteristik pribadi yang harus dimiliki guru sebagai individu yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didik.
Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Salah satu jalan yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi mutu pendidikan yang rendah ini adalah dengan meningkatkan kualitas gurunya melalui sertifkasi guru. Pemerintah berharap, dengan disertifkasinya guru, kinerjanya akan meningkat sehingga prestasi siswa meningkat pula.Untuk membentuk guru yang profesional sangat tergantung pada banyak hal yaitu guru itu sendiri, pemerintah, masyarakat dan orang tua. Berdasarkan kenyataan yang ada, pemerintah telah mengupayakan berbagai hal, diantaranya sertifikasi guru. Dengan adanya program sertifikasi tersebut, kualitas mengajar guru akan lebih baik.
Program sertifikasi tersebut juga dapat diterapkan untuk guru-guru biologi agar dapat memiliki standar kompetensi yang telah diterangkan di atas. Guru biologi diharapkan mampu memahami dan menguasai materi ajar yang ada dalam kurikulum, memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang koheren dengan materi ajar, memahami hubungan konsep antar mata pelajaran yang terkait dan menginternalisasikan nilai-nilai biologi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu melalui sertifikasi guru biologi diharapkan mampu menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan dan materi bidang studi biologi.


DAFTAR PUSTAKA

Jalal, Fasli. 2007. Sertifikasi Guru Untuk Mewujutkan Pendidikan yang Bermutu. Surabaya: Kencana
Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi Guru Professional Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
http://www.psb-psma.org/content/blog/sertifikat-guru
http://agupenaja.net/2009/08/25/sertifikasi-guru-upaya-meningkatkan-status-guru/
http://www.va-media.com/forum/printthread.php?tid=2757
http://sudarmi.com/peningkatan-kualitas-mutu-pendidikan
http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDMOjY